Jakarta begitu ranum dengan kisah si miskin yang jadi kaya, tapi cerita yang ini sungguh istimewa—legendanya berasal bukan hanya dari muasalnya sebagai gerobak di Kemang, diikuti dengan masa wajib menumpang di rumah mertua dan membuka warung makan rumahan di Jl. Cipete Raya No. 6, melainkan juga dari keberaniannya meniti jurang antara Timur dan Barat seraya mantap bersikukuh dalam pilihan genrenya: steik lokal.
Bertahun-tahun Abuba berdiri, penirunya datang dan pergi, silih berganti; beberapa cukup oke (misalnya Fiesta Steak) dan yang lainnya layak dilupakan. Namun Abuba tetap melaju, melayani sekitar separuh warga kota.
Lebih daripada dua dasawarsa kemudian, barisan legendaris mobil-mobil yang memadati kedua sisi jalan Cipete Raya dan jejak asap spektakuler yang memenuhi radius setidaknya 750 meter kini tak ada lagi. Alih-alih, kini ada bangunan modernis dua lantai dengan gaya cubist, dikawinkan dengan desain interior vernakuler yang tajam dengan aksen partisi bambu ikal tipis, langit-langit jerami anyam, dan mebel kayu Mibotu (wenge wood). Pak Abubakar, yang konon membangun reputasi membangun sejumlah masjid di lingkungan ini (salah satunya, masjid Abu Nizar, kabarnya didedikasikan kepada Wiliardi Wizar saat ia menjabat Kepala Polisi Jakarta Selatan), jelas telah menuai sukses dengan tiga unit Abuba di Jakarta serta satu cabang baru di Bandung.
Tapi bukannya tak ada masalah: para pelanggan setia Abuba mengeluh tentang potongan dagingnya yang akhir-akhir ini menciut, meski sebagian dari mereka tetap loyal pada harga rendahnya dan kenangan manis tentang rasanya yang unik: ada pengaruh Jawa yang kuat, tentu saja—dari bumbu rendaman yang manis sampai kentang gorengnya yang tawar dan campuran jagung, wortel, dan buncis rebus yang telah jadi gambaran tentang Barat yang dipercayai oleh orang setempat—tapi kombinasi seperti inilah yang menggembirakan lidah lokal.
Kini Wagyu ditambahkan ke dalam daftar sajian daging impor yang mencakup daging khas dalam, has luar, lamusir, dan tulang-T dari Selandia Baru dan Amerika Serikat (dan sangat murah dibandingkan di tempat lain mana pun di kota ini). Jangan lupa, cobalah selalu menaati peraturan yang tak berlaku di tempat lain di dunia tapi sangat penting untuk dicamkan di Indonesia: “medium” lokal adalah tak matang (underdone) menurut aturan Barat, dan “well done” setempat adalah “medium” di Barat. Dengan kata lain, jangan sampai Anda memesan “has dalam lokal, medium”. Pesanlah selalu well done.
Dengan puntiran plot seperti ini, tak heran has luar Selandia Baru adalah favorit yang langgeng—sebagai potongan daging yang berada di antara short loin dan daging penutup, yang mencakup beberapa bagian tulang punggung, hip bone, dan has dalam, potongan ini mengandung lemak yang cukup untuk menopang Anda sepanjang hari bahkan setelah semua kandungan nutrisinya timpas.
Harga: sekitar Rp 120.000 untuk berdua (has luar Selandia Baru Rp 48.000; has dalam lokal Rp 46.000)
Jam buka: 11.00 – 24.00
Aturan busana: santai
Atmosfer: vernakuler Jawa modern
Alkohol: tidak ada
Metode pembayaran: menerima semua kartu kredit utama
Jl. Cipete Raya no. 14A
Cipete
Jakarta Selatan
Tel. 9284 5552, 769 2785
Sumber : Jakarta Good Food Guide